Selasa, 02 Oktober 2012

KARENA AL-QURAN AKU MEMILIHMU

Salah satu kelebihan para nabi jika dibandingkan  dengan para filosof adalah diturunkannya wahyu yang diklaim sebagai firman Tuhan yang diberikan kepada mereka. Sedangkan posisi para nabi juga “mengklaim” sebagai “yang menyampaikan” risalah Tuhan. Bukannya orang yang mengajarkan suatu

NASH-NASH AGAMA

Nash-nash agama tentu saja harus ada yang tetap sakral. Maka merasionalisasikan agama secara keseluruhan akan membingungkan. Bahkan akan menghilangkan agama itu sendiri. Batasan-batasan pada teks-teks tertentu itu harus ada. Tapi lagi-lagi siapa yang berhak memberikan batasannya? Saya yakin, jawabannya bukanlah penguasa. Jika agama dengan seluruh ketentuan-ketentuannya dibawa pada ranah kekuasaan, saya rasa akan cenderung dipolitisir.

                                                                                                  27 Juli 2003

SUMBER HUKUM ISLAM

Ketika pada akhir diskusi Bu Isna mengatakan, “al-Qur'an dan as-Sunnah saja sebagai sumber” maka saya menjadi lega. Bersesuaian dengan argumen saya dari awal. Permasalahan yang akan saya catat adalah ketika di tengah diskusi beliau berkomentar bahwa ijmak, qiyas sama saja baik dijadikan sumber maupun metodologi. Di sinilah saya

ANTARA AKAL DAN WAHYU

Lagi-lagi ini adalah sisa diskusi dengan Pak Rumadi. Diskusi kami siang itu adalah masalah akal dan wahyu. Masalah “yang tekstual” dan “yang kontekstual”. Permasalahan yang muncul di antaranya; mana yang lebih punya otoritas antara wahyu dan akal? Akal dulu atau wahyu dulu? Kemudian masalah tekstual sering dipersepsikan sebagai yang tidak menggunakan akal dan tekstual sebagai yang menggunakan akal. Untuk menerangkan masalah-masaah ini, Pak Rumadi membuat beberapa kotak

Rabu, 26 September 2012

KAGUM PADA FAZLURRAHMAN

Melepaskan al-Qur’an pada posisi terlepas sama sekali dengan masa lalu (asbabun nuzul dan konteks sosio-historis) dan menempatkannya seolah-olah ia turun pada saat ini, saya yakin tidaklah tepat. Sebagian ayatnya boleh jadi berkata-kata sangat progresif dengan dimensi kekinian. Namun sebagaian yang lain boleh jadi tidak mengatakan apa-apa. Hal terakhir ini akan memaksa mufassir untuk memeras energinya dengan berbagai ta’wil agar

SETUJU DENGAN MAQASHID SYARI'AH

Maka aku saat ini rasanya setuju bahwa “tak ada“ hukum Allah dalam urusan mu’amalat. Maksudnya bahwa Allah telah memberikan akal untuk mendefinisikannya. Bukannya Allah memberikan ketentuan-ketentuan baku yang rigid dan absolut. Jadi, dalam masalah mu’amalat tak ada ayat yang

SOAL TAFSIR KLASIK

Maka jika penafsiran-penafsiran klasik itu dikatakan sebagai sesuatu yang belum final dan tentu saja tidak muthlak benar, maka demikian juga tafsir-tafsir kontemporer. Jadi, slogan “tidak muthlak benar” jangan digunakan hanya untuk menghujat orang lain saja. Diantara masing-masing semestinya tak boleh ada yang mengklaim “paling benar”. Maka dalam posisi ini,

PERILAKU QUR'ANI

Yang Santri kurasa bukannya yang fasih membaca al-Qur’an. Tapi mereka yang berprilaku Qur’ani. Bagaimana mungkin aku menghargai orang yang fasih membaca al-Qur’an, namun