Minggu, 23 September 2012

ANALOG AYAT QATH'I


 Peraturan lalu lintas terbaru yang menyedot perhatianku adalah tentang “menyalakan lampu di siang bolong”. Ini sungguh sangat aneh. Peraturan yang irasional. Orang-orang yang menggunakan akal pikirannya tentu paham seribu kali bahwa fungsi lampu (rasio legis) dari lampu adalah untuk alat penerangan. Lah, ini siang bolong malah diwajibkan pakai lampu. Kerumitan ini segera terjawab setelah saya kroscek ke salah seorang teman saya. Katanya,
di beberapa negara telah terbukti menyalakan lampu di siang hari dapat mengurangi angka kecelakaan. Yang pertama (lampu untuk penerangan) adalah yang disebut dengan akal publik, yang kedua (alasan keamananan) adalah maksud hukum menurut pembuatnya. Yang pertama bersifat logis dan dapat dianalisa oleh semua orang. Yang kedua harus ditanyakan kepada sang pembuat hukum. Inilah analog dari ayat Qoth’i dalam hukum Allah. Seringkali karena alasan rasio legis, atas dasar kemaslahatan yang didasarkan atas akal publik, secara sembarangan menolak ayat yang secara  hukum sudah tegas. Potong tangan misalnya maka akan ditafsirkan bahwa ia bertentangan dengan kemaslahatan publik. Menurut rasio, maksud dari hukum ini adalah terhentinya tindak kriminal pencurian. Mengapa dalam ayat memerintahkan potong tangan? Itu rasio juga mengetahui bahwa karena pada saat itu memang berada pada masa yang masih barbar.
      Demikian juga kepemimpinan laki-laki. Maka ayat yang menerangkan masalah ini akan dibaca  sebagai ayat yang bias jender. Rasio mengetahui bahwa ayat itu muncul dalam sebuah struktur yang patriarkat. Persis, rasio sangat paham dengan alasan hukum itu sebagaimana rasio sangat paham dengan maksud dari sebuah cahaya lampu adalah untuk penerangan. Tapi bukankah sangkaan bahwa maksud dari lampu yang sudah sangat terang benderang itu ternyata salah? Bukankah ternyata ada maksud lain di luar frame rasio legis yang ditemukan akal public, yaitu sebuah alasan yang menurut pembuat hukum?
      Nah, kasus aturan lalu lintas ini adalah menyangkut perihal manusia antar manusia. Bagaimana kalau menyangkut manusia dengan Tuhannya? Tentunya sangat bisa dimaklumi jika sebagian dari aturan-Nya ada yang tidak sepenuhnya kita bisa temukan dalam rasio kita. Bukan tidak ditemukan, mungkin tepatnya menyisakan ruang untuk Tuhan. Apakah ini menjadi dogmatis? Tidak! Bagaimana kita bisa menanyakan alasan hukum yang kita ketahui pada pembuatnya  jika pembuatnya adalah Tuhan?      Baik, marilah kita ikuti petunjuk ini pelan-pelan. Pertama, jika aturan itu sudah sangat jelas seperti bunyi aturan,”Diwajibkan menyalakan lampu di siang hari” ini jangan terburu ditolak dengan alasan tidak rasional. Mengapa? Coba lihat, benar bahwa rasio dapat paham dengan pasti, secara empiris bahkan bahwa maksud lampu adalah untuk penerangan. Sedang ini sudah terang. Bukankah ini malah pemborosan yang menyalahi kaidah hukum? Tapi ternyata tidak demikian maksud dari pembuat hukum.      Nah, setelah itu, kita tanyakan pada pembuat hukum kan? Untuk ayat Qoth’i dalam Al Quran, sebenarnya dengan menerimanaya sebagai sebuah perintah yang penuh kebaikan dan penuh rahasia dari Allah itu sudah cukup. Artinya terima saja aturan itu lantaran Tuhan sudah merencanakan seluruh hukumnya untuk kebaikan manusia. Tapi alasan ini memang terasa sangat dogmatis. Nah, untuk itu, caranya adalah mencari rasio legis ayat itu tanpa harus mengganti bentuk aturannya. Artinya kalau potong tangan sudah jelas, yang potong tangan, kalau kepemimpinan itu dimandatkan pada laki-laki, itu ya sudah tepat. Sekarang yang harus kita cari adalah mengapa aturan itu diberlakukan? Awas! Sekali lagi jangan terjebak dengan alasan rasio legis. Ingat, aturan itu tetap! Inilah yang dimaksud bahwa rasio selalu berada di belakang wahyu sebagaimana metode ulama salaf. Jadi dogmatis? Sekali lagi tidak! Hasilnya, banyak sudah penelitian ilmiyah yang membuktikan semuanya.
      Soal kepemimpinan laki-laki misalnya, di sini sudah banyak kajian medis yang menerangkan kompoisis hormon yang mendukung laki-laki berpotensi memimpin ini. Ini adalah pekerjaan seperti yang telah dilakukan oleh Harun Yahya. Mungkin orang lain akan menuduh apologetik. Itu hanya pembelaan yang tidak proporsional di belakang ayat yang tekstual. Oh, tidak! Siapa bilang? Siapa yang lebih berhak menghakimi sebagai yang paling rasional? Ini sama-sama menggunakan rasio dan sama-sama akan membuktikan alasannya secara medis maupun sosiologis. Inilah yang saya maksud bertanya pada pembuat hukum. Bertanya pada Allah. Kurang rasional apa! Nah, sekarang siapa yang sering menuduh truth claim, tapi siapa yang sebenarnya truth claim?
                                                                                                                                         
3 Februari 2008

Tidak ada komentar: