Minggu, 23 September 2012

RELATIVISME TAFSIR AL-QUR'AN


Relatifisme tafsir Al-Qur’an adalah sesuatu yang tidak dapat saya terima. Logika tafsir klasik menurut saya harus tetap memagang otoritas. Stop! Jangan eror dulu hanya mendengar kata otoritas. Ini adalah hal yang sangat wajar dalam logika hukum. Hukum dimanapun di dunia ini tentu meniscayakan adanya pemegang otoritas. Otoritas tidak selalu identik dengan otoritarian. Tapi di satu sisi pelabuhan akhir untuk mengakhiri sekian banyak otoritarian.      Metode; Al-Qur’an menafsirkan Al-Qur’an, kemudian kaidah pokok bahwa; tak ada yang kontradiksi dari dalam ayat-ayat Al-Quran, tentu sebuah metodologi yang harus diterima terlebih dulu sebelum analisa sosiologis. Ini adalah hal yang wajar dalam sebuah aturan hukum, AD/ART, diamana pun di dunia ini dimana satu pasal dan pasal lainnya adalah satu kesatuan yang mensyaratkan satu sama lain terjalin koherensi.
      Kemudian menafsir dengan Al-Hadits, ini juga bagian dari metode yang terutama harus kita terima terlebih dahulu sebelum analisa sosiologis. Sekali lagi ini adalah hierarki hukum yang berlaku dimana pun di dunia ini. Sebagai lazimnya UUD, tentu ia hanya membahas bagian-bagian umum. Salah satu bunyi pasalnya merekomendasikan bahwa pada bagian “ini” dijelaskan dalam undang-undang. Maka tak boleh lain kita harus melihat terlebih dahulu pada undang-undang dimaksud sebagai penjelasan dari UUD yang otoritatif. Demikian juga dalam Al-Qur’an, dengan tegas, di sana disebutkan bahwa Nabi Muhammadlah yang paling otoritatif menjelaskan Al-Qur’an. Bahkan seperti salat, jelas-jelas tak ada penjelasan rincinya dalam Al-Qur’an.
      Maka tak ada pilihan lain kecuali kita harus menengok Al-Hadis sebagai yang otoritatif untuk menafsir Al-Quran. Melihat ayat Al-Qur’an secara parsial dan melakukan lompatan-lompatan yang tak semestinya dalam menafsirkan Al-Qur’an jelas menyesatkan. Ini bukan masalah relatifitas tafsir. Tapi kurang pengetahuan dan mengambil camat-comot sana-sini mengikuti apa kata tokoh yang dikagumi. Apalagi kalau sudah terkait dengan kepentingan pragmatis. Tuduhan penuh kepentingan saya lihat lebih tepat diarahkan pada orang-orang “sok mufassir” belakangan daripada kepada para mufasir salaf.
5 April 2007 

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Coba entri komentar ya...