Selasa, 02 Oktober 2012

ANTARA AKAL DAN WAHYU

Lagi-lagi ini adalah sisa diskusi dengan Pak Rumadi. Diskusi kami siang itu adalah masalah akal dan wahyu. Masalah “yang tekstual” dan “yang kontekstual”. Permasalahan yang muncul di antaranya; mana yang lebih punya otoritas antara wahyu dan akal? Akal dulu atau wahyu dulu? Kemudian masalah tekstual sering dipersepsikan sebagai yang tidak menggunakan akal dan tekstual sebagai yang menggunakan akal. Untuk menerangkan masalah-masaah ini, Pak Rumadi membuat beberapa kotak berarsir untuk menunjukkan posisi akal-wahyu dan porsi penggunaannya. Cukup banyak. Kalau tidak salah ada empat kotak.

      Namun rasanya saya kurang tertarik atau bahkan kurang cocok dengan pemetaan yang diberikan beliau. Yang menjadi pendapat saya adalah bahwasanya berbicara tentang akal wahyu harus dirinci pada dua hal: pertama, otoritas penafsir. Kedua, otoritas sumber. Pertanyaannya, akal dulu atau wahyu dulu? Nah, jika permasalahannya adalah otoritas penafsir, maka jawabnya akal dulu. Apabila pembicaraanya otoritas sumber, maka jawabnya wahyu dulu. Maka dalam hal ini saya hanya butuh menggambar dua kotak dengan arsiran atas bawah untuk “akal – wahyu” dan “wahyu – akal”.

      Satu hal yang penting digarisbawahi adalah arsiran akal wahyu (akal di atas, wahyu di bawah) atau model penafsiran penggunaan akal bagi saya tidak selalu identik dengan yang kontekstual. Yang dikatakan tekstual menurut saya juga masuk dalam model ini. Karena baik yang tekstual maupun yang kontekstual adalah tetap saja akal yang bermain. Kontekstual maupun tekstual adalah sama-sama cara pandang akal. Inilah yang saya katakan bahwa otoritas penafsir adalah akal. Apa pun bentuknya.

Tidak ada komentar: